TRADISI DAN MITOS SUNAN MURIA DALAM KONTEKS KEKINIAN
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuliah: Sosiologi Agama
Dosen Pengampu: Mas’udi S.Fil.I., MA
Disusun oleh :
Lia Muthoharoh
(1430310004)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
USHULUDDIN / AT
TAHUN
2015
PENDAHULUAN
Disebelah utara kota Kudus dengan jarak 18 km, terdapat desa
bernama Colo. Desa Colo ini terletak dilereng bukit Muria, yakni salah satu
bukit dari beberapa puncak di Gunung Muriayang tingginya 1600 meter lebih.
Diatas bukit Muria itulah letaknya makam Raden Umar Sa’id atau yang lebih kita
kenal dengan nama Sunan Muria.
Makam Sunan Muria, sampai sekarang masih ramai dikunjungi para
wisatawan lokal maupun nonlokal. Adapun tradisi serta mitos yang berkembang
dimasyarakat Colo mengenai Sunan Muria merupakan suatu hal yang wajar. Setiap
wilayah tentu saja memiliki tradisi-tradisi tertentu yang menjadi ciri khas daerah
tersebut.
Pada makalah kali ini, saya
akan menjelaskan mengenai fenomena kebudayaan masyarakat Colo sendiri yakni
menyangkut beberapa tradisi dan mitos yang berkembang di masyarakat. Semoga
makalah ini, bermanfaat untuk kita semua.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa saja fakta dan legenda mengenai Sunan Muria?
2.
Bagaimana makna simbolik dan spirit ketokohan Sunan Muria ?
3.
Apa saja Tradisi dan Mitos yang berkembang di masyarakat?
PEMBAHASAN
A.
Sunan
Muria, antara Fakta dan Legenda
Umar Hasyim menyatakan bahwa diantara sejarah pari Walisongo ditanah
jawa, tokoh Sunan Muria adalah yang termasuk sedikit bahan-bahan cerita yang
berhubungan dengan riwayat hidupnya, meskipun tidak seberapa tebal, namun
menurut pengalaman Umar Hasyim selama meneliti beberapa tokoh Walisongo,
penelitian terhadap Sunan Muria termasuk yang paling berat dan lama
penggarapannya. Dalam pengumpulan sumber tertulis yang memuat kisah Sunan Muria
yang dilakukan selama 2 setengah tahun, Umar Hasyim dalam pengakuannya merasa
apa yang dilakukan juga masih sebagai penelitian rintisan untuk dikembangkan
oleh peneliti lain. Hal ini disebabkan sumber yang terbatas, dan dari sumber
tersebut banyak kontroversi dan kontradiksi mengenai silsilah dan keturunan
Sunan Muria sehingga sukar untuk melakukan kompromi. [1]
Didalam bukunya, Umar Hasyim
kemudian memberi kesimpulanbahwa:
1.
Sunan Muria adalah putera Sunan Kalijaga.
2.
Dengan sunan Kudus, Sunan Muria adalah iparnya.
3.
Dengan Sunan Giri, Sunan Muria adalah keponakannya, (jadi, Sunan
Giri adalah pak Ciliknya Sunan Muria).
4.
Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah Pak Dhe ataupun paman
(tiri)nya Sunan Muria, karena kedua wali diatas itu kakaknya Siti Muthmainnah (
Ibu Tirinya Sunan Muria).
5.
Dengan demikian, maka Sunan Ampel adalah kakek (tiri) nya Sunan Muria, karena Sunan Bonang,
Sunan Drajad dan Siti Muthmainnah itu putranya Sunan Ampel.
6.
Sunan Ngudung adalah mertua Sunan Muria karena Dewi Sujinah, istri
dari Sunan Muria adalah Puteri dari Sunan Ngudung.
7.
Sunan Gunung Jati juga Pak Dhe (tiri) nya Sunan Muria, karena dengan
istri Maulana Is-haq yang lain (Puterinya Bathoro Katong Adipati Kediri),
Maulana Is-haq mempunyai tiga putra antara lain Sunan Gunung Jati.[2]
Sunan Muria Sebagai Mubaligh dan Seniman
Para walisongo tidak dapat dipisahkan dengan dakwah Islamiyah,
karena memang beliau-beliaulah peletak
dasar batu pertama dari penyiaran agama Islam di tanah Jawa. Demikian pula
Sunan Muria, beliau juga sebagai mubaligh yang menyiarkan agama Islam disekiar
gunung Muria. Dalam rangka menyiarkan agama Islam itu beliau juga menggunakan
berbagai kepandaian dan keterampilan dibidang kesenian, maka kecuali sebagai
mubaligh, beliau juga sebagai seniman yang menggunakan kesempatan didalam
dakwahnya itu dengan alat kesenian.
Sebagai mubaligh, setiap wali dari walisongo mempunyai daerah
sendiri-sendiri didalam menjalankan perasinya dalam rangka menyiarkan agama
Islam. Dalam hal ini, Sunan Muria memilih
sekitar gunung Muria, yakni pantai Utara daerah Jepara. Tayu, Pati,
Juana, Kudus dan dilereng-lereng Gunung Muria. Hal-hal yang dapat meyakinkan
hypotesa ini hanyalah terbukti di daerah-daerah tersebut hingga sekarang
terdapat banyak tempat-tempat yang ada hubungannya dengan dunia dongeng atau
legenda yang ada sangkut-pautnya dengan Sunan Muria, meskipun dalam dunia
dongeng. Banyak terdapat pula dan makam-makam yang konon dahulu mempunyai
cerita maupun “dongeng” yang ada sangkut pautnya dengan Sunan Muria. Memang
beliau suka berdakwah ditempat-tempat atau desa-desa yang jauh dari pusat
keramaian kota. Beliau suka menyendiri dan menjadikan tempat yang tenang itu
sebagai tempat berdomisili.
Diantara para walisongo terdapat dua golongan pendapat yang
mencerminkan falsafah hidup mereka didalam menghadapi rakyat yang menjadi obyek
dakwah. Dua golongan itu masing-masing dipimpin oleh Sunan Kalijaga dan Sunan
Giri. Sunan Kalijaga dkk (yakni Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan
sunan Gunung Jati) cara dakwahnya lebih moderat, dengan cara yang lunak. Tetapi
golongannya Sunan Giri dkk (yakni Sunan Ampel dan Sunan Drajat) ingin
meluruskan agama Islam sesuai dengan aslinya menurut dalil dari al-Qur’an dan
Sunnah Rasul tanpa mau berkompromi dengan ajaran bid’ah, Khurafat, tahayyul,
adat istiadat Hindu-Budha Animisme dan Dinamisme.
Golongan pertama disebut aliran Tuban atau aliran Abangan. Golongan
kedua disebut aliran Putihan. Selanjutnya, untuk prakteknya, dolongan kedua (
golongan Sunan Giri ) lebih suka mendekati kaum ningrat dan kaum hartawan.
Tetapi golongan aliran Tuban (golongan Sunan kalijaga) lebih suka mendekati
rakyat jelata yang pada masa itu masih dianggap kaum sudra oleh kaum ningrat. [3]
B.
Makna Simbolik dan Spirit Ketokohan Sunan Muria
1.
Ajaran Sunan Muria dalam Konteks Kekinian
Sesuai dengan arti kata sunan yang berasal dari istilah sinuhun atau
susuhunan yang berarti sangat dihormati. Sunan Muria adalah sosok
kharismatik bagi masyarakat pengagumnya. Ia diyakini wali (kekasih Allah) yang
memiliki karomah tersendiri. Namanya disebut-sebut dengan penuh kehormatan ,
Kanjeng Sunan Muria. Kanjeng berasal dari kata Kang Jumenengyang berarti
raja/pemimpin, memiliki makna bahwa sosok Sunan Muria dijunjung dan dihormati
sebagai tokoh panutan bahkan ajaran-ajarannya mengilhami kehidupan mansyarakat
sampai saat ini. Sunan Muria juga dikenal sebagai guru Sufi yang sederhana dan
dekat dengan rakyat.
Selain itu tangga menuju
makam Sunan Muria yang berjumlah kurang lebih 432 anak tangga seolah
mengajarkan bahwa segala tujuan dan cita-cita tidak akan terwujud jika
seseorang tidak pernah berusaha melangkahkan kakinya (mewujudkannya). Menapaki
satu demi satu tangga ibarat perjalanan dalam proses kehidupan yang pada
akhirnya akan sampai pada tujuan akhir kehidupan. Mungkin seolah-olah
kebetulan, jumlah 432 jika masing-masing dijumlahkan , 4+3+2 maka akan
diperoleh angka 9, angka keramat yang menjadi simbol Wali Songo.[4]
Sebelum kita membahas mengenai apa saja tradisi yang terdapat di
Makam Sunan Muria, yang mana terdapat banyak sekali ritual tertentu. Kita harus
tahu dulu apa makna dari kata ritual itu.
Ritual[5]
merupakan transformasi simbolis dari pengalaman-pengalaman yang tidak dapat
diungkapkan denga tepat oleh media lain. Karena berasal dari kebutuhan primer
manusia. Maka ia merupakan kegiatan yang spontan dalam arti betapapun peliknya,
ia lahir tanpa niat, tanpa disesuaikan dengan suatu tujuan yang disadari,
pertumbuhannya tanpa rancangan, polanya benar-benar alamiah.
Ritual
mengungkapkan perasaan dalam arti logis ketimbang psikologis. Ia bisa memiliki
apa yang oleh Aristoteles disebut sebagai ‘nilai cathartic’ tetapi itu bukan
merupakan khasnya, ia semata-mata merupakan suatau artikulasi perasaan. Hasil
akhir dari ari artikulasi yang demikian itubukan suatu emosi yang sederhana,
tetapi suatu sikap yang kompleks dan permanen.
3.
Upacara Tradisi di Makam Sunan Muria[6]
a)
Upacara Ganti Luwur
Upacara Ganti LuwurSunan Muriasemula dilaksanakan setiap 10
Muharram. Akan tetapi sejak tahun 1960an oleh juru kunci pada waktu itu,
dirubah pelaksanaannya pada tanggal 15 Muharram dengan alasan bahwa tanggal 10
Muharram bertepatan dengan haul sunan Kudus dan haulmbah
Mutamakin di Kajen Pati.
Bersamaan dengan kegiatan haul, diadakan pula upacara ganti luwur yang
digunakan untuk mengganti luwur lama dengan luwurbaru. Istilah
ganti luwur digunakan pada tahun 1988-an, sebelumnya pengelola dan masyarakat
menggunakan istilah “salin luwur”.
b)
Guyang
Cekathak
Musim kemarau yang berkepanjangan biasanya menyebabkan bencana
kekeringan melanda kawasan Pantura Jawa Tengah. Memasuki puncak kemarau atau
orang jawa menyebutnya sebagai mangsa ketiga, warga yang tinggal di
lereng Pengunungan Muria, Kabupaten Kudus, menggelar tradisi Guyang
Cekathak, yang merupakan ritual memohon agar hujan turun. Menurut
perhitungan orang jawa, mangsa ketiga
dimulai pada 25 Agustus sampai dengan 24 September. Upacara tradisi ini
biasanya diselenggarakan pada hari Jumuah Wage bulan September, atau yang
penting hari Jumuah Wage musim Kemarau atau mangsa ketiga .
Ritual diawali dengan membawa cekathak, atau pelana kuda,
peninggalan Sunan Muria dari kompleks Masjid Muria menuju mata air Sendang
Rejoso, menurut cerita turun temurun, Sendang Rejoso dahulu adalah tempat
wudlunya Sunan Muria. Hal ini masuk akal karena Sendang Rejoso adalah
satu-satunya mata air yang letaknya dekat dengan Masjid Sunan Muria. Selama ini
disendang Rejoso masih dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mandi, mengisi
gentong peninggalan Sunan Muria.
Tradisi ini semula dilakukan untuk mengajak masyarakat disekitar
Gunung Muria untuk melestarikan sumber air yang berada disebelah utara masjid
Sunan Muria, tepat di lereng hutan Gunung Muria. Dimata air ini cekathak kemudian dicuci. Usai dicuci
air sendang kemudian dipercik-percikkan kepada warga, sebagai ungkapan
kebahagiaan bahwa sendang yang menopang masih tetap memancarkan air. Tradisi Guyang
Cekathak merupakan salah satu kearifan lokal, untuk melestarikan alam
dilereng Gunung Muria.
Guyangatau ngguyang
dalam bahasa Jawa berarti memandikan, dan Cekathakadalah istilah
orang Kudus untuk meyebut pelana Kuda yang terbuat dari Kayu. Tradisi Guyang Cekathaksendiri adalah ritual
yang rutin dilakukan warga, pada masa
Sunan Muria.
Usai ritual pencucian pelana, acara dilanjutkan selametandan
makan bersama dengan lauk khas desa, yakni sayur-mayur yang dipadu dengan
parutan kelapa, opor ayam, dan gulai
kambing. Makanan ditutup dengan minum dawet khas Kudus, yang melambangkan
harapan warga agar turun hujan.
c)
Parade
Sewu Kupat
Rutinitas masyarakat desa Colo setelah perayaan hari raya Idul
Fitri tepatnya pada tanggal 7 syawal selalu menggelar acara parade sewu kupat
di Taman Ria. Acara tersebut sudah dimulai pada tahun 2007 lalu, dan masih
dilestarikan dan menjadi tradisi setiap tahunnya.
Beberapa gunungan kupat dan juga lepet yang dikumpulkan dari warga
sekitar serta hasil pertanian lainnya kemudian diarak mulai dari makam Sunan
Muria untuk didoakan terlebih dahulu oleh
para kyai, Ulama’ dan masyarakat. Lalu berangkat menuju Taman Ria Colo
dengan berjalan kaki sejauh 800 meter.
Warga masyarakat sekitar saling berebut dan meyakini bahwa kupat
dan lepet tersebut memiliki keberkahan tersendiri. Begitu juga penuturan dari
Bapak Joni Awang Ristihadi, Kepala Desa Colo yang merupakan Kepala Desa termuda
di Kudus bahwasanya acara tersebut bertujuan untuk meningkatkan paket wisata di
Desa Colo yang merupakan kawasan yang ramai dikunjungi para wiasatawan yang
hendak berziarah ke Makam Sunan Muria, selain itu untuk menumbuhkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya budaya kupatan tersebut, selain itu juga dijadikan
moment untuk saling bermaaf-maafan karena masih nuansa lebaran (Sumber:
Wawancara bersama Bp. Joni Awang Ristihadi, Kepala Desa Colo. Jum’at 12 Juni
2015).
Selain beberapa tradisi yang berkembang di masyarakat, ada juga
beberapa mitos yang berkembang di masyarakat colo sendiri, namun tidak ada
salahnya jika kita sedikit menyinggung
mengenai apa mitos itu sendiri.Mitos berasal dari emosi dan latar
belakang emosionalnya mengilhami semua hasilnya dengan warna yang khusus.
Manusia primitif bukan kurang memiliki kesanggupan untuk memahami berbagai
perbedaan empiris dari sesuatu. Tetapi dalam konsepsinya tentang alam dan
kehidupan semua perbedaan ini dihilangkan oleh perasaan yang lebih kuat:
keyakinan yang dalam terhadap solidaritas kehidupan yang fundamental dan tidak
terelakkan, yang menjembatani keseragaman dan variasi bentuk-bentuk tunggal,
kelihatannya merupakan suatu perkiraan umum dari pemikiran mitos.
Cassirer juga menyatakan bahwa mitos adalah dunia yang dramatis,
sebuah dunia tindakan, kekuatan, kekuasaan yang saling bertentangan, apapun
yang dilihat atau dirasakan dikelilingi oleh suasana khusus, suasana gembira
atau suka cita, kesedihan, kegairahan, kegembiraan atau depresi. Disini kita
tidak dapat membicarakan “sesuatu” sebagai yang mati atau sebagai bahan yang
tidak perlu ditanggapi. Semua obyek bersifat ganda, bersahabat atau bermusuhan,
familiar atau tidak, memikat dan menjemukan, menjijikkan dan menakutkan.
Melalui mitos,
manusia tidak hanya “menjelaskan” dunia mereka tetapi secara simbolis juga
menampilkannya kembali. Mitos memiliki cara lain dalam melihat dunia, suatu
cara yang mengungkapkan kesatuannya bersama dengan keterlibatan emosional
manusia dan partisipasi didalamnya. Mitos adalah ungkapan serius tentang
pertalian dengan dunia. “Dalam mitos dan dengan menggunakan citra mitos,
terdapat eksternalisasi pengarahan “batin” emoi manusia ketika dia melihat
dunia., daya penerimaannya terhadap dorongan yang berasal dari “luar”,
komunalitas substansi yang meleburnya kedalam totalitas kedirian.[7]
4.
Mitos Buah Pari Joto, Pakis Haji dan Air Gentong Keramat Sunan
Muria
A.
Buah
Pari Joto[8]
Buah Pari Joto, berukuran sebesar biji kacang tanah yang berwarna
merah muda pada saat masih muda dan berwarna kehitaman jika sudah masak,
rasanya getir kemasaman. Mengandung unsur kimia berupa saponin, kardenilin,
flavonoid, tanin, nutrisi dan vitamin Bg. Semuanya baik untuk membantu
pembentukan otak janin. Mitos tentang Pari Joto tersebar luas ke jagad
nusantara. Ia dielu-elukan si sebagai salah satu “warisan” Sunan Muria. Sejarah
lisan yang berkembang, konon, pada saat istri beliau. Dewi Sujinah, mengandung
putrinya yang kelak diberi nama Dewi Ayu Nawangsih, Nyai Sujinah tiba-tiba
ingin memakan buah yang rasanya masam, atau yang hari ini kita mengenalnya
dengan istilah “nyidam” atau “ngidam”.
Saat itu, gunung Muria yang kaya keanekaragaman hayati menyajikan
berbagai jenis tumbuhan yang sekiranya dapat mengobati ngidam sang istri. Sunan
Muria memerintahkan para santrinya untuk mencari buah dihutan pegunungan Muria
yang sekiranya buah itu memiliki ciri dan rasa seperti yang dikehendaki sang
istri. Para santri berangkat melakukan pencarian ketengah hutan. Tak lama
kemudian, mereka pulang dengan membawa
buah Pari Joto.
Kisah lain, masih tentang Pari Joto, konon ia adalah buah mistik
yang berasal dari “kompol” gunung Margojembangan, nama salah satu gunung di pegunungan
Muria, letaknya disebelah utara puncak gunung Muria.
Buah Pari Joto buahnya orang hamil. Biasanya dimakan oleh ibu yang
tengah nyidam. Menurut mitos yang beredar, jika makan buah Pari Joto ini, jika
anaknya nantinya laki-laki, Insya Allah
akan ganteng dan sholih, dan jika perempuan, Insya Allah akan cantik dan
sholihah (wawancara dengan Siti Amti’ah yang tengah hamil 2 bulan, 17 Mei
2015).
Buah Pari Joto memang berkhasiat membantu perkembangan janin
didalam kandungan. Buah ini dipercaya dapat menjadikan bayi yang dalam
kandungan berkembang sempurna, baik fisik maupun psikis. Secara fisik, yang
dikatakan oleh Siti Amti’ah memang benar adanya. Dan secara psikis buah ini
dipercaya berkhasiat untuk perkembangan otak dan watak calon bayi, sehingga
kelak ia terlahir, akan mendewasa sebagai pribadi yang cerdas dan berkarakter
saleh ataupun shalehah.
a)
Pari Joto, Komunikasi Budaya dan Makna Spiritual
Mitologi buah Pari Joto begitu populer, merasuk hingga kalangan masyarakat
lintas daerah, lintas budaya bahkan lintas ideologi. Kenyataan ini telah
menjelaskan bahwa Pari Joto tidak hanya memiliki kekuatan mistik seperti
terekam dalam imajinasi masyarakat. Ia juga telah menjadi salah satu media
komunikasi budaya sekaligus metode penyampaian muatan dakwah khas sunan Muria.
Pari Joto menjadi tali kesinambungan semangat dakwah sunan Muria,
yang dalam laporan Umar Hasyim (1985), sunan Muria merupakan kelompok Walisongo
“aliran” moderat atau “abangan”. Maksudnya sunan Muria adalah dari Walisongo
yang mengembangkan metode dakwah aliran Tuban, yang bersemangat moderat, dekat
dengan rakyat jelata, dan penuh toleransi.
Titik semangat dakwah yang kultural dan merakyat itu terjadi apik
melalui mitos dari buah Pari Joto. Ia terbukti mampu menjadi irisan budaya
masyarakat luas, tanpa menuai perdebatan . Di dukung mitos keramat dan khasiat alamiahnya, buah Pari Joto mampu
menjadi “benda multikultural” yang diamini dan bahkan menjadi bagian hidup
masyarakat luas selayak air zam-zam bagi masyarakat muslim lintas ideologi.[9]
Suanan Muria, memahami setangkai Pari Joto tidak terbatas benda
konsumsi. Pari Joto bagi Sunan Muria ia pahami sebagimana sebagai tanda kuasa
cipta kreatif Allah untuk menebar rahmat. Pari Joto adalah rizki sebagaimana
potensi alam lainnya. Di dalam Pari Joto tersimpan tanda kekuasaan Allah,
sekaligus juga menjelaskan sifat rahmat (kasih sayang Allah).
b)
Pari Joto dan Pesan Ibadah
Pari Joto, buah
keramat ini sejatinya kaya nutrisi semangat kemanusiaan. Kita perlu mengupasnya
dengan kerangka ushul fikih untuk mengeluarkan nutrisi yang dikandungnya. Pari
Joto dipercaya memiliki khasiat dapat memberi manfaat alam untuk perkembangan
dan pembentukan sel otak janin dalam kandungan. Pari Joto secara faktual
melampaui sisi mitologisnya sebagai buah keramat. Selain bertuah dapat mendukung
kualitas fisik keturunan, pari joto juga mengandung berbagai nutrisi dan
vitamin yang dapat membantu pembentukan jaringan otak pada janin. Artinya, pari
joto secara alamiah memiliki fungsi-nya menciptakan kualitas keturunan, baik
secara fisik maupun psikis. Sedikitnya Pari Joto memuat dua maslahat, yakni hifd
al nasl (menjaga dan memperbaiki keturunan) dan hifd al aql (menjaga
dan meningkatkan kualitas otak pada janin). Jika demikian, maka Pari Joto
adalah mitologi berwawasan ekorolegi bernuansa fikih.
Keyakinan Parijoto
sebagai buah bernutrisi spiritual diperkukuh oleh kisah Rosul yang menganjurkan
mengonsumsi jintan hitam sebagai ikhtiar untuk menyembuhkan segala macam
penyakit.[10]
B.
Pakis Haji
Pakis haji merupakan konstruk mitologis Sunan Muria seperti halnya
Pari Joto, masyarakat percaya bahwa pakis haji adalah jenis tumbuhan khas Muria
yang dipercaya mendapatkan tsawab berkah kealian Sunan Muria. Ia
diyakini memilikin keramat mistik-alamiah dapat mengusir tikus.
Umumnya Pakis Haji
digunakan untuk mengusir tikus perumahan. Karena khasiat keramatnya, ia menjadi
salah satu komoditas dagang wisata Muria, dijajakkan disepanjang tangga menuju
makam Sunan Muria. Untuk layak jual, kayu ini cukup dikupas kulitnya, sehingga
tampak motif batik. Umumnya motif batik ini berwarna cokelat berbentuk jajar
genjang tak beraturan, dengan motif titik dibagian dalamnya, sementara bagian
dasarnya berwarna putih tulang kecoklatan. Jika dilihat dari kejauhan, batang Pakis
Haji nampak seperti Ular Pyton. Karena motif batiknya menyerupai motif kulit
Ular Pyton.
Penggunaan Pakis Haji
dengan tujuan menguir tikus perlu memerhatikan beberapa hal, diantaranya (1)
batangnya harus dikupas, sehingga motif batik yang menyerupai motif kulit Ular
Pyton itu nampak. (2) kayu Pakis Haji diletakkan ditemapat tersembunyi, jika
diareal pesawahan, baiknya diletakkan ditempat yang sekiranya tidak tampak oleh
orang yang lewat, atau jika digunakan di perumahan, sebaiknya diletakkan
ditempat tersembunyi.
Kepercayaan masyarakat
pada tuah mistik Pakis Haji terilham atas cerita lisan bahwa konon, suatu
ketika mewabah hama tikus yang merusak sawah padi Masyarakat Muria, sehingga
mengancam gagal panen. Berbagai cara telah dilakukan untuk membasmi hama tikus
ini, namun hasilnya tetap nihil. Tikus-tikus liar itu tetap melahap padi-padi
petani. Masyarakat akhirnya mengadukan masalah ini kepada Sunan Muria. Singkat
kisah, Sunan Muria memberi ide masyarakat untuk menggunakan pohon Pakis Haji
untuk mengusir tikus.[11]
C.
Air
Gentong Keramat
Usai berziarah dari pusara Sunan Muria, pengunjung akan melewati
ruangan tertutup dengan desain melingkar. Puncak dari rute ini adalah ruang khusus tempat pengambilan air gentong
keramat. Rute keluar-masuk areal makam sunan Muria sengaja didesain dengan
mengarahkan rute perjalanan pengunjung sampai dilokasi gentong keramat
disamping pintu keluar. Tujuannya agar pengunjung dapat mengambil air gentong
keramat secara leluasa setelah usai ritual ziarah.
Ritual pengambilan air gentong memang didesain pada urutan
terakhir, dari sederet ritual sejarah lainnya, agar pengambilan air dilakukan
setelah peziarah melakukan ritual. Air keramat ini diposisikan sebagai ritual
terakhir peziarah setelah memanjatkan doa, sehingga berkah doa yang dipanjatkan
dalam ritual ziarah di makam sunan Muria mengalir ke air yang diambil dari
gentong keramat peninggalan beliau.
Pengunjung yang meminum air gentong ini tujuannya untuk ngalap
barokahe mbah Sunan Muria, masyarakat juga percaya bahwa air gentong keramat
peninggalan sunan Muria bisa dijadikan obat segala macam penyakit, selain itu
bisa juga menyehatkan badan, ada juga pengunjung yang membasuh mukanya dengan
air ini, mereka percaya bahwa air dari gentong ini bisa memberi aura positif
bagi peminumnya.( Wawancara dengan Bp. Subhan, salah satu dari Punggawa
YM2SM sekaligus Tokoh Masyarakat 16 Mei 2015)
Beberapa peziarah mengaku menyempatkan diri untuk mengambil air
gentong keramat sebagai buah tangan sepulang ziarah. Mereka sengaja membeli
botol berukuran besar yang dijual disepanjang jalan menuju Makam sunan Muria.
Mitos air gentong keramat ini berkisah bahwa Sunan Muria yang masa
hayatnya selalu menyediakan air untuk konsumsi dan bersuci (thaharah).
Sang Sunan menampung air didalam gentong berukuran besar. Gentong ini pada
mulanya diletakkan di mbelek (mata air) Rejoso, sekitar 300 meter
sebelah timur laut dari makam sunan Muria.
Konon, ia berasal
dari mbelek Laren, letaknya disekitar petilasan Syaikh Syadzali ,
dekat dengan sebuah makam yang diyakini sebagai makam Mbah Laren. Air
dari mbelek Laren ini di usung oleh salah seorang abdi atau pembantu di
padepokan Sunan Muria bernama Nyi Ageng Ratu, Konon, pada saat memindahkan air
dari mbelek Laren ke Sendang Rejoso, Nyai Ageng Ratu menggunakan kendit
(kain panjang untuk menggendong). Pada saat menggendong, kendit itu
tersangkut disebuah anak gunung, sehingga gunung tersebut patah (tugel).
Hingga sekarang, jejak tersebut masih ditemukan di daerah pegunungan Muria bernama
gunung tugel.
Menurut versi
cerita ini, gentong yang sekarang dapat disaksikan dilokasi makam Sunan Muria
itu adalah gentong peninggalan Sunan Muria asli. Pengurus makam atau yang biasa
disebut YM2SM (Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria) memasang papan informasi
bertuliskan “Gentong Keramat Peninggalan Sunan Muria” . Tulisan ini
merupakan versi kedua yang telah diganti. Bebarapa tahun sebelumnya, tulisan
yang dipasang bukan “Gentong Keramat Peninggalan Sunan Muria” melainkan “AirGentong
Keramat Peninggalan Sunan Muria”. Penggantian papan nama ini karena menurut
pengurus makam, nilai kekeramatan yang sebenarnya ada pada gentong, bukan
airnya. Gentong tersebut dipercaya sebagai peninggalan Sunan Muria. Air yang
sekarang dibagikan kepada peziarah adalah air dari mata air dari mata air mbelek
Laren yang disalurkan melalui pipa.
Sedangkan sebagian
masyarakat menganggap bahwa gentong ini dapat mengeluarkan air dengan
sendirinya dari dindingnya. Namun, karena pada kepengurusan masa silam (tidak
diketahui pasti masa kepengurusannya), gentong ini pernah “dijual”, sehingga
gentong ini enggan mengeluarkan air. Singkatnya, sebagian masyarakat menduga
bahwa faktor hilangnya kekeramatan gentong itu karena praktik komersialisasi
air, meskipun praktik yang mereka anggap menjual air keramat itu tidak dalam
bentuk jual beli, melainkan uang sedekah yang dianjurkan khusus kepada para
peziarah yang ingin mengambil air gentong.
Ada juga versi
lain yang menyebutkan bahwa gentong ini tidak pernah habis meskipun tidak pernah
diisi air, bukan karena ia dapat mengeluarkan air dengan sendirinya,. Gentong ini sejak zaman
dahulu diisi satu kali setiap tahunnya, yakni pada tanggal 1 Muharram. Karena
gentong ini berukuran sangat besar dan pada waktu silam para peziarah terbilang
masih sepi, sehingga debet air yang hanya diisi satu tahun sekali itu dapat
mencukupi kebutuhan semua peziarah dalam waktu setahun. Karenanya, banyak orang
menyanngka bahwa gentong ini dapat mengeluarkan air dengan sendirinya.
Gentong ini
memiliki bentuk dan ciri yang dapat dikatakan berbeda dari sewajarnya ukuran
gentong pada umumnya. Kira kira gentong
ini berdiameter sekitar 1 sampai 1,5 meter dan tinggi sekitar 1,2 meter
dan ditanam dibawah tanah dan hanya sebagian kecil yang tampak dari atas.
Ruangan tempat
gentong ini tepat berada di bawah lantai ruangan kembar. Ruang kembar ini pada
mulanya hanya digunakan untuk acara tertentu seperti haul. Namun, pengurus
YM2SM ini menggunakan ruangan ini sebagai rute masuk ke makam sunan muria.
Pertama kali jalur ini dibuka, rute yang diambil melewati salahsatu titik yang
tepat berada diatas ruangan gentong. Selang waktu yang tak begitu lama, lantai
ruang kembar yang tepat diatas ruang
gentong retak secara misterius. Masyarakat sekitar mengaitkan kejadian ini
dengan keberadaan ruangan gentong yang berada dibawah rute perjalanan masuk ke
makam. Pengurus makam mengganggap kejadian ini sebagai pertanda nilai keramat
gentong, sehingga tidak sepantasnya berjalan dengan posisi tepat diatas ruangan
gentong. Akhirnya pihak pengurus berinisiatif untuk memindahkan rute tersebut. [12]
Gentong dikuras setiap setahun sekali pada
malam 1 asyuro karena sebagai penghormatan pada bulan yang sangat mulia dalam
islam itu. Menguras gentong makam
adalah salahsatu dari sederet tradisi yang dilakukan menjelang haul atau buka
luwur kanjeng sunan muria (Sumber: wawancara bersama Bapak samiyono selaku
petugas penjaga gentong, 16 Mei 2015)
Selain air gentong makam sunan muria, situs air keramat lainnya
yang dalam lingkaran mitos makam sunan muria adalah “air tiga rasa”.
Situs air ini terletak di kawasan makam Syaikh Syadzili. Lokasi makam ini berada sekitar 2km di sebelah utara makam
sunan muria, di pisahkan dua bukit dan satu sungai besar. Letak situs air ini
berada di sebuah lereng terjal, beberapa meter dari tempat yang dipercaya
sebagai makam Syaikh Syadzili.
Air tiga rasa
bersumber dari tiga mata air yang saling berdekatan, hanya berjarak sekitar 20 cm. Tiga sumber
mata air ini mengeluarkan air yang beda
rasanya, sehingga disebut air tiga rasa. Tidak jelas rasa yang pasti
dari ketiga air ini, karena banyak orang
yang mengaku merasakan air ini dengan rasa yang berbeda. Sebagian mengatakan
air ini terasa seperti soda agak
kemasaman, sebagian yang lain mengatakan air ini terasa masam seperti perisa
buah asam. Ada yang mengatakan bahwa
rasa dari ketiga sumber air ini berbeda satu sama lain, namun ada juga yang
mengatakan rasa ketiga air ini tidak berbeda.
Selain diminati
pengunjung karena rasanya yang unik, mereka juga percaya bahwa air ini
mengandung keramat yang dapat mendatangkan manfaat kebaikan bagi yang
meminumnya. Seperti halnya air gentong
muria, air tiga rasa juga diambil oleh peziarah
untuk dijadikan buah tangan. Awalnya, datang musafir dari Irak yang
ingin berguru dengan Sunan Muria namanya Syaikh Hasan Syadzili. Syaikh Hasan
Syadzili diperintah oleh Kangjeng Sunan Muria untuk pergi ke daerah rejenu. Lama
kelamaan, Syaikh Syadzili memiliki
banyak santri dan membangun mushola yang dibawahnya terdapat sumber mata air.
Beredar kabar, bahwa air tersebut dapat menghidupkan orang yang sudah
meninggal. Karena telah disalahgunakan oleh masyarakat dan dikhawatirkan
menjadi musyrik beliau memutuskan untuk menutup sumber mata air tersebut. Lalu
muncul tiga mata air yang sampai saat ini disebut air tiga rasa. Dan, sampai sekarang pengunjungpun
masih berdatangan (wawancarabersama Bapak Sami’un selaku penjaga makam Syaikh
SyadziliRejenu)
a)
Air Gentong Keramat dan Kebaikan Alam
Konseptualisasi
air dalam mitologi gentomg keramat Sunan Muria memunculkan simbol-simbol
kultural, spiritual sekaligus simbol ilmiah tentang manfaat kebaikan air. Pertama,
simbol kultural, secara kultural, air gentong keramat menjadi mitos
pemersatu sekaligus yang membentuk cara pandandan pola laku kultural masyarakat
Muria terhadap air. Air gentong ini dikemas dalam kode budaya dan ritus
sedemikian rupa sehingga menyatu dan menjadi bagian dari praktik kultural
masyarakat Muria pada khususnya dan para peziarah. Praktik budaya ini terekam
dari tradisi mengambil air genong keramat sebagai laku konsumtif sekaligus
tradisi konservasi air. Tradisi konsumtif mewujud dalam hasrat konsumsi
masyarakat atas air gentong keramat, bagaimana mereka mengorbankan banyak hal
untuk mendapatkan air keramat ini.
Dalam laku
konsumtif ini terdapat simbol-simbol budaya konsumtif yang memberi pesan
tertentu, misalnya batasan pengambilan air yang ditetapkan oleh pengurus makam
sunan Muria, sehingga para peziarah tidak dapat mengeksploitasi air secara
berlebihan. Pesan ekologis dalam budaya konsumsi ini adalah pelajaran menghemat
air dan budaya konsumsi air bersih.
Simbol budaya
lainnya, air gentong ini menyimpan pesan tentang paradigma kebutuhan hakiki
dalam mengonsumsi air. Ketiganya, baik seruan hemat air, pola hidup bersih
dalam mengonsumsi air dan prinsip kebutuhan hakiki ini memberikan gambaran,
bagaimana seharusnya manusia belajar mentradisikan konsumsi air secara arif.
Kedua, simbol
spiritual. Secara spiritual, mitologi air gentonh keramat ini adalah adalah
simbol-simbol imajiner-kritis yang mengandung paradigma spiritual dalam
mengkonstruksi dan memperlakukan air. Air adalah benda suci yang memiliki nilai
dan kekuatan spiritualnya. Air, sebagaimana air gentong keramat sunan
Muria adalah benda yang menjadi
penyambung imajinasi spiritual manusia kepada Tuhan-Nya, selain air itu sendiri
telah merupakan potensi aktual yang bersifat spiritual. Simbol-simbol
spiritualitas ini terekam dalam konseptualisasi air gentong sebagai air keramat
yang mendapat berkah dari Sunan Muria, dipercaya dapat menyembuhkan berbagai
penyakit, memberi manfaat kebaikan seperti mencegah penyakit, membersihkan dari
kotoran jiwa dan memberikan menfaat untuk kecerdasan.
Air gentong Muria
ini laksana zam-zam lokal bagi masyarakat Muria. Sebagaimana zam-zam
diterjemahkan Rosulullah sebagai air yang menyimpan sejuta kebaikan dan
manfaat. Kesamaan atau setidaknya kemiripan kode simbolik spiritual dalam air
zam-zam dan air gentong Muria adalah inspirasi spiritual Islam tentang air
sebagai benda spiritual. Ia berguna bagi aktifitas religius, ekologis,
kesehatan bahkan kepentingan konsumtif-ekonomis. Dari arah inilah air
diterjemahkan sebagai benda agama.
Ketiga, simbol
ilmiahkonsep simbol ilmiahdalam mitologi air gentong ini terletak pada
multifungsinya sebagaibenda spiritual, medis, dan juga alamiah. Ketika
masyarakat Muria dan para peziarah percaya bahwa air gentong Sunan Muria adalah
air keramat, menyembuhkan penyakit, membersihkan jiwa dan berbagai manfaat
kebaikan alam lainnya. Simbol ilmiah ini mendapat legitimasinya, sebagaimana
temuan Masaru Emoto (2006) bahwa air
dapat mentransformasi segala pesan yang masuk kedalam dirinya, sehingga dapat
membentuk kualitas fisik dan kualitas manfaatnya. Jika air mendapatkan stimulus
yang baik, misalnya berupa pujian, perkataan baik atau do’a tertentu, maka air
akan memunculkan kristal yang indah. Sebailknya, jika air mendapatkan stimulus
yang buruk seperti umpatan, kata-kata kasar atau kalimat yang buruk, maka
kristal air akan memudar dan berubah menjadi bentuk yang sangat buruk.
Setidaknya temuan
ini dapat menjelaskan mengapa air murni yang dibacakan doa kepada Allah untuk
penyembuhan penyakit atau untuk maksud kebaikan lainnya, maka air dapat
menyembuhkan penyakit atas izin Allah juga. Demikian halnya dengan kasus air
gentons Sunan Muria, ketika ia mendapatkan stimulus yang baik berupa doa,
harapan, dan i’tikad baik dari pemercaya mitos kekeramatannya , maka air itu
akaan mentransformasi diri menjadi
kebaikan-kebaikan seperti diharapkan darinya, begitu pula sebaliknya.[13]
Teladan sosok
sunan Muria yang dermawan ini dijelaskan pengurus YM2SM dengan tradisi sedekah
kepada masyarakat sekitar dan peziarah pada moment tertentu, diantaranya adalah
pada saat perayaan ritual khaul sunan Muria, saat hari raya idul adha dan hari
tasyakuran desa (sedekah bumi) desa Colo yang biasanya dilakukan pada bulan
Dzulhijjah. Pada moment ini, pihak pengurus yayasan menyediakan beberapa ekor
kerbau dan kambing untuk disembelih dan dimasak (kecuali pada moment idul
adha). Daging yang sudah dimasak disajikan bersama nasi putih yang dikumpulkan
dari sedekah masyarakat desa sekitar. Pada saat khaul, para peziarah berbondong
untuk berebut nasi berkah ini, sebagian mereka makan ditempat , sebagian yang
lain dibawa pulang untuk dijadikan oleh-oleh. Pada suasana khaul, pemandangan
berebut nasi berkah itu sudah menjadi lumrah dan mentradisi di lingkungan makam
sunan Muria. Para peziarah percaya bahwa nasi ini memiliki berkah yang dapat
memberikan manfaat kebaikan untuk dirinya dan keluarganya.
Penelitian
Mengenai Agama dan Masyarakat Daerah
Adapun yang dimaksud dengan masyarakat daerah dalam bahasa Inggris disebut communityadalah
masyarakat yang mendiami daerah tertentu, berinteraksi memakai pola dari sistem
budaya yang sama, dan diikat oleh adat istiadat yang disepakati bersama.
Masyarakat daerah biasanya bersifat homogen, artinya tidak terlalu banyak
variasi dalam bidang-bidang kehidupannya.
Menurut para peneliti,
situasi tekno-ekonomi setempat, keadaan sosial, dan kerangka budaya memberi
pengaruh terhadap tipe keberagamaan masyarakat tersebut. Maka dapatlah
diasumsikan bahwa budaya lokal mempengaruhi pola-pola perwujudan keberagamaan
orang Sunda yang ada di pantai utara pulau Jawa berbeda dengan keberagamaan orang
Sunda yang berada di pegunungan selatan pulau jawa. Keberagamaan masyarakat
Sunda di Jawa Barat berbeda dengan keberagamaan masyarakat Minang di Sumatera
Barat, walaupun mereka sama-sama menganut Islam Sunni. Begitu juga
ukuran-ukuran norma etika, moralitas, dan kriteria kebaikan akan berbeda antara
masyarakat disuatu daerah dan masyarakat yang berada didaerah yang lain.[14]
Tujuan Penelitian Sosiologi Agama
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian Sosiologi Agama
yang didasarkan pada pendekatan ilmu sosial atau pengetahuan budaya memgenai
berbagai masalah seperti yang telah disebutkan seputar tradisi dan mitos
tentang Sunan Muria dalam konteks kekinian. Hasil penelitiannya bisa digunakan
untuk memperoleh gambaran (deskripsi) mengenai kemungkinan yang terjadi akiabt
kegiatan atau keputusan pejabat pemerintah atau pejabat agama, atau akibat
rencana pembangunan yang menyebabkan perubahan di mayarakat yang beragama.
Pengetahuan tentang kondisi masyarakat pemeluk agama sangat diperlukan bagi
orang yang akan menerapkan suatu kebijakan pada suatu masyarakat, misalnya
dalam menerangkan keluarha berencana (KB), melakukan inovasi bercocok tanam,
dan memperkenalkan suatu produk obat baru.[15]
Fenomena Kebudayaan
Tiada orang yang
menyangkal bahwa fenomena kebudayaan adalah suatu yang khas insani. Kebudayaan
menyinggung daya cipta bebas dan serba ganda dari manusia dalam alam dunia.
Dari alam buta maupun dari gairah hewani tidak diharapkan karya budaya. Pun
pula tidak dari roh yang transenden terhadap dunia maddi. Manusialah pelaku
kebudayaan. Ian menjalankan kegiatannya untuk mencapai sesuatu yang berharga
baginya, dan dengan demikian kemanusiaannya menjadi lebih nyata. Melalui
kegiatan kebudayaan, sesuatu yang
sebelumnya hanya merupakan kemungkinan belaka, diciptakan baru. Tetapi jelaslah
bahwa kebudayaan tidak tambah menjadi berharga oleh tambahan segala rupa hal
berharga tanpa tata-susunan. Dari julah kemungkinan tak terbatas yang terbentang
didepan manusia dia harus memilih. Dalam memilih ini, bersama dengan
mengabaikan itu tampaklah gaya dan arah usahanya serta corak kebudayaannya.
Budaya
Membutuhkan Etika
Bahwa didalam alam maupun budaya, tersembunyilah bahasa, ditulis pula oleh tokoh reformasi calvin
demikian: manusia dalam menelaah alam dan budaya manusia mengambil jarak dari
budaya tersebut. Inilah yang dalam bahasa Jerman disebut “Innerweltliche
Askese” (bertapa dalam dunia)
Sehubungan dengan itu Hoenderdaal menyimpulkan budaya utu bagaimana
pun merupakan bagian dari kehidupan manusia, baik sebagai hal yang berharga
sehingga manusia dikejarnya maupun sebagai yang tak berharga sehingga harus
dijauhinya. Budaya dalam hal ini mirip dengan Tuhan, yang kita dekati akan
tetapi jika kita gegabah memandangnya sebagai sesama kita,maka sikap ini akan
mengancam kelestarian kita sendiri.[16]
KESIMPULAN
Sunan Muria adalah putra dari Sunan Kalijaga, ibunya bernama Dewi
Sarah dan istrinya bernama Dewi Sujinah yang merupakan kakak kandung Sunan
Kudus. Putranya bernama pangeran santri. Nama kecil sunan Muria adalah Raden
Umar Saidi, Raden Said, Raden Prawata. Disebut Sunan Muria karena wilayah syiar
Islamnya meliputi lingkungan Gunung Muria. Karya dari Sunan Muria diantaranya
tembang sinom, dan kinanthi.
Diantara tradisi
yang berkembang antara lain Buka luwur yang dilaksanakan setiap tahunnya pada
tanggal 15 Muharram dilanjut acara haul kanjeng Sunan Muria dengan pembagian
nasi berkah. Selain itu ritual Ngguyang Cekathak yakni pencucian pelana kuda
milik Sunan Muria untuk melestarikan sumber air yang berada disebelah utara
masjid Sunan Muria. Ada juga Parade Sewu kupat yang menjadi icon kebudayaan
Desa Colo.
Masih ada mitos
yang berkembang di masyarakat Colo sampai saat ini antara lain mengenai Pari Joto,
Pakis Haji dan juga Air Gentong keramat Sunan Muria.
DAFTAR PUSTAKA
Muryono, Widi.
2014. Napak Jejak Pemikiran Sunan Muria, LPS Fikro: Kudus.
Hasyim, Umar.1983.
Sunan Muria Antara Fakta dan Legenda, Menara: Kudus
Widodo, Sutejo.
2014. Sunan Muria Today, Tigamedia Pratama: Semarang
Widagdho, Djoko.
1994. Ilmu Budaya Dasar, Bumi Aksara: Jakarta
F. O’dea, Thomas.
1994. Sosiologi Agama, Raja Grafindo Persada: Jakarta
Bekker. 1984. Filsafat
Kebudayaan, Kanisius: Yogyakarta
[1]Sutejo K.
Widodo, Sunan Muria Today, tigamedia Pratama: Semarang, 2014. Hlm
5
[2]Umar, hasyim, Sunan
Muria Antara Fakta dan Legenda, Menara
Kudus: Kudus, 1983. Hlm 34
[3] Ibid. Hlm 63-64
[4]Sutejo K.
Widodo, op. Cit. Hlm 64-65
[5]Thomas F.
O’dea, Sosiologi Agama, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1994.
Hlm 76-77
[6]Sutejo K.
Widodo, op. Cit. Hlm 28-34
[7]Thomas F.
O’dea, op. Cit. Hlm 80-81.
[8]Widi,
Muryono, Napak Jejak Pemikiran Sunan Muria, LPS Fikro: Kudus, 2014. Hlm 30-33
[9]Ibid. Hlm 32-33
[10]Ibid. Hlm 115
[11] Ibid Hlm 41-42
[12] Ibid. Hlm 52-56
[13] Ibid Hlm 59-62
[14]Dadang, kahmad,
Sosiologi Agama, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2002. Hlm 106
[15]Ibid. Hlm 112