MUJAHADAH, KHOUF DAN RAJA’ SERTA ZUHUD
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuliah: Hadits Sufi
Dosen Pengampu: Drs. H. Masdi, M. Ag
Disusun oleh :
Lia Muthoharoh
(1430310004)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
USHULUDDIN / AT
TAHUN 2015
PENDAHULUAN
Islam Agama Rahmat bagi
Seluruh Alam Kata islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri,
taat dan patuh. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama islam adalah agama
yang mengandung ajaran untuk menciptakan kedamaian, keselamatan, dan
kesejahteraan hidup umat manusia pada khususnya dan seluruh alam pada umumnya.
Agama Islam
adalah agama yang Allah turunkan sejak manusia pertama, Nabi pertama, yaitu
Nabi Adam AS. Agama itu kemudian Allah turunkan secara berkesinambungan kepada
para Nabi dan Rasul-rasul berikutnya.
Masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam agama. Kemajemukan yang
ditandai dengan keanekaragaman agama itu mempunyai kecenderungan kuat terhadap
identitas agama masing- masing dan berpotensi konflik. Indonesia merupakan
salah satu contoh masyarakat yang multikultural. Multikultural masyarakat
Indonesia tidak sauja kerena keanekaragaman suku, budaya,bahasa, ras tapi juga
dalam hal agama. Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah agama
islam, Katolik, protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Dari agama-agama tersebut
terjadilah perbedaan agama yang dianut masing-masing masyarakat Indonesia.
Dengan perbedaan tersebut apabila tidak terpelihara dengan baik bisa
menimbulkan konflik antar umat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar
agama itu sendiri yang mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling
menghormati, dan saling tolong menolong.
Oleh karena itu, untuk
mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama yang sejati, harus tercipta satu
konsep hidup bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial yang berbeda
agama guna menghindari ”ledakan konflik antarumat beragama yang terjadi
tiba-tiba”.
Makalah ini akan
membahas tentang Mujahadah Nafs tentang kontrol diri yang perlu dimiliki
setiap umat muslim. Selain itu
terdapat pula khouf/takut kepada Allah dan juga Roja’ yakni mengharap Ridho
Allah. Lalu ada juga Zuhud yaitu meninggalkan hal yang bersifat duniawi. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
PEMBAHASAN
1. Mujahadah
Pengertian Mujahadah
Mujahadah menurut arti bahasa, syar’i, dan istilah ahli hakikat
sebagaimana dimuat dalam kitab Jami’ul Ushul Fil-Auliya, hal 221 :
أَمَّاالْمُجَاهَدَةُ
فَهيَ فِي اللُّغَةِ الْمُحَارَبَةُ وَفِي الشَّرْعِ مُحَارَبَةُ أَعْدَآءِ
اللهِ , وَفِي اصْطـِلاَحِ أَهْلِ الْحَـقِـيْقَة ِ مُحَــارَبَةُ النَّفـْسِ
الأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ وَتَحْمِيْلُهَا مَا شَقَّ عَلَيْـهَا ِممَّا هُوَ
مَطْلـُوْبٌ شَرْعًا . وَقَالَ بَعْضُـهُمْ : الْمُـجَاهَدَةُ مُخَالَـفَةُ
النَّفْسِ , وَقَالَ بَعْضُهُمْ : المـُجَاهَدَةُ مَنْعُ النَّفْس ِ عَنِ
الْمَـأْلُوْ فَاتِ
“Arti mujahadah menurut bahasa adalah perang, menurut aturan
syara’ adalah perang melawan musuh-musuh Alloh, dan menurut istilah ahli
hakikat adalah memerangi nafsu amarah bis-suu’ dan memberi beban kepadanya
untuk melakukan sesuatu yang berat baginya yang sesuai dengan aturan syara’
(agama). Sebagian Ulama mengatakan : "Mujahadah adalah tidak
menuruti kehendak nafsu”, dan ada lagi yang mengatakan: “Mujahadah adalah
menahan nafsu dari kesenangannya”.
Di dalam Wahidiyah yang dimaksud “Mujahadah” adalah
ber-sungguh-sungguh memerangi dan menundukkan hawa nafsu (nafsu ammarah
bis-suu’) untuk diarahkan kepada kesadaran “FAFIRRUU ILALLOOH
WAROSUULIHI.
Sedangkan pengertian
secara khusus Mujahadah
Wahidiyah adalah pengamalan Sholawat Wahidiyah atau bagian dari padanya menurut
adab, cara dan tuntunan yang dibimbingkan oleh Muallif Sholawat Wahidiyah sebagai
penghormatan kepada Rosululloh dan
sekaligus merupakan do’a permohonan kepada Alloh , bagi diri pribadi dan
keluarga, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, bagi bangsa
dan negara, bagi para pemimpin mereka di segala bidang, bagi ummat masyarakat
jami’al ‘alamin, dan seluruh makhluq ciptaan Alloh
.
Dasar-dasar Mujahadah dan Keuntungannya
a. Firman Alloh
Ta’ala QS. 5 - Al Maaidah : 35 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوْآ إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (5-
المائدة-35)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh dan
carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-NYA
agar supaya kamu sekalian mendapat keberuntungan”.
b. Firman Alloh
Ta’ala : QS. 29 Al Ankabut: 69
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ
اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ ( 29-العنكبوت : 69 )
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridoan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. Q.S. 29 Al-Ankabut : 69.
b. Firman Allah
وَجَاهِدُوا فِي الله ِ حَقَّ
جِهَادِه… الآية (22 الحج : 78 )
“Dan berjihadlah (bersungguh-sungguhlah) kamu menuju pada Alloh
dengan sebenar-benarnya jihad …….. (QS.22 Al-Hajji 78 )
Perilaku yang
Mencerminkan Sikap Mujahadah an-Nafs
a. Berpikir
positif
b. Bekerja
keras, tuntas, dan ikhlas
c. Optimis
dalam segala hal
d. Bersyukur ketika mendapat keberhasilan
e. Bersabar
ketika mendapat kegagalan
Seseorang
yang memiliki sikap kontrol diri akan bersabar dan menganggap bahwa setiap
kegagalan dalam usahanya adalah ujian baginya untuk meningkatkan usaha dan
doanya lebih maksimal lagi di kemudian hari.
Hikmah dari Sikap Mujahadah an-Nafs
a. Menambah
ketentraman hati dan pikiran
b.
Mendapatkan hasil yang memuaskan
c. Memiliki kepercayaan diri yang tinggi
2.
Khauf dan Raja'
A. Khauf (takut kepada Allah SWT)
1) Pengertian Khauf
Secara bahasa Khauf
berasal dari kata khafa, yakhafu, khaufan
yang artinya takut. Takut yang dimaksud disini adalah takut kepada Allah
SWT. Khauf adalah takut kepada Allah SWT dengan mempunyai perasaan khawatir
akan adzab Allah yang akan ditimpahkan kepada kita. Cara untuk dekat kepada
Allah yaitu mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Firman Allah surah An-Nur 52 yang
artinya: “Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut
kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang
mendapat kemenangan.
2) Khauf (Takut) ada tiga macam:
a. Khouf thabi’i
seperti halnya orang takut hewan buas, takut api, takut tenggelam, maka rasa
takut semacam ini tidak membuat orangnya dicela akan tetapi apabila rasa takut
ini menjadi sebab dia meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan
maka hal itu haram.
b. Khouf ibadah
yaitu seseorang merasa takut kepada sesuatu sehingga membuatnya tunduk
beribadah kepadanya maka yang seperti ini tidak boleh ada kecuali ditujukan
kepada Allah ta’ala. Adapun menujukannya kepada selain Allah adalah syirik
akbar.
c. Khouf sirr
seperti halnya orang takut kepada penghuni kubur atau wali yang berada di
kejauhan serta tidak bisa mendatangkan pengaruh baginya akan tetapi dia merasa
takut kepadanya maka para ulama pun menyebutnya sebagai bagian dari syirik.
3) Alasan manusia takut kepada Allah
a. Karena
kekuasaan dan keagungan Allah
b. Karena
balasan Allah
c. Karena
taufiq dan hidayah yang diberikan kepada manusia
d. Karena
rahmat dan minat yang dilimpahkan kepada manusia
Allah bukanlah dzat yang harus ditakuti dalam arti
dijauhi, tetapi dipatuhi segala perintah-Nya dan dijauhi segala larangan-Nya.
Allah Maha Pengasih. Lagi Maha Penyayang, Allah Maha Penolong, juga Maha
Pengampun.
3. Raja’
(Mengharap ridho kepada Allah SWT)
1. Pengertian
Raja’
Raja’ secara bahasa
artinya harapan atau cita-cita. Raja’ adalah mengharap ridho, rahmat dan
pertolongan kepada Allah SWT, serta yakin hal itu dapat diraihnya, atau suatu
jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari Allah SWT,
setelah melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang
diharapaknnya. Jika mengharap ridha, rahmat dan pertolong Allah SWT, kita harus
memenuhi ketentuan Allah SWT. Jika kita tidak pernah melakukan shalat ataupun
ibadah-ibadah lainnya, jangan harap meraih ridha,rahmat,dan pertolongan Allah
SWT.
2.
Macam-macam Raja’
Dua bagian termasuk
termasuk raja` yang terpuji pelakunya sedangkan satu lainnya adalah raja`
yang tercela. Yaitu:
a. Seseorang
mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah di atas cahaya Allah, ia
senantiasa mengharap pahala-Nya
b. Seseorang yang
berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap ampunan Allah,
kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya.
c. Adapun yang
menjadikan pelakunya tercela ialah seseorang yang terus-menerus dalam
kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa dibarengi amalan. Raja`
yang seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.
3. Sifat Raja’
kepada Allah SWT
a.
Optimis
b. Dinamis
4. Faktor dalam Raja’:
a. Selalu berpegang teguh kepada
tali agama Allah yaitu agama Islam
b. Selalu berharap kepada Allah, agar
selalu diberikan kesuksesan dalam berbagai macam usaha dan mendapat ridha
dari-Nya
c. Selalu merasa takut kepada
ancaman dan siksaan Allah di hari akhirat kelak
d. Selalu cinta (mahabbah) kepada
Allah
5. Hikmah Raja’
a.
Menciptakan prasangka baik membuang jauh prasangka buruk
b.
Mengharapkan rahmat Allah dan tidak mudah putus asa
c.
Menjadikan dirinya tenang, aman, dan tidak merasa takut pada siapapun kecuali
kepada Allah
d.
Dapat meningkatkan amal sholeh untuk bertemu Allah
e.
Dapat meningkatkan jiwa untuk berjuang dijalan Allah
f. Dapat meningkatkan
kesadaran bahwasannya azab Allah itu amat pedih sehingga harus berpacu dalam
kebaikan
g.
Dapat meningkatkan rasa syukur atas nikmat yang telah diteriamnya
h.
Dapat menghilangkan rasa hasud, dengki, dan sombong kepada orang lain
i.
Dapat meningkatkan rasa halus untuk mencintai sesama manusia dan dicintainya.
Baik Khauf maupun raja`
merupakan dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya menyatu dalam diri
seorang mukmin, maka seluruh aktivitas kehidupannya akan menjadi seimbang.
Dengan khauf akan membawa diri seseorang untuk selalu melaksanakan
ketaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan; dengan raja` akan menghantarkan
dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi Allah.
4.
Zuhud
Mengenai zuhud
disebutkan dalam sebuah hadits,
عَنْ
سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ
أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى
أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».
Dari
Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku
suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu
pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah
pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia,
manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi
mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)
Dalam hadits di atas terdapat dua
nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan
zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan
manusia[2]
Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al Qur’an dan Hadits
Masalah zuhud telah disebutkan dalam
beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan masalah zuhud adalah
firman Allah Ta’ala tentang orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun
yang mengatakan,
وَقَالَ
الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ يَا قَوْمِ
إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ
الْقَرَارِ
“Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku
akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan
dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah
negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ
تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.
Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa:
16-17)
Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
وَاللَّهِ
مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ
هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ
يَرْجِعُ
“Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti
jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari
telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim no.
2858)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
menjelaskan, “Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari tersebut
dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih tersisa di lautan”.[3]
Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لَوْ
كَانَ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ تِ
الدُّنْيَا تَعْدِلُ مَاءٍ
“Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap
nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk
air.” (HR. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia
Yang dimaksud dengan zuhud pada
sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali- adalah berpaling
darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta
membebaskan diri darinya.Adapun mengenai zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan
beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh sahabat Abu Dzar.
Abu Dzar mengatakan,
الزَّهَادَةُ
فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ
وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ
أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ
إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ
“Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan
bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau
begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di
tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih
mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi
padamu”.[4]
Yunus bin Maysaroh menambahkan
pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau menambahkan bahwa yang
termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas
kebenaran”.[5]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah
mengatakan, “Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga
hal, yang kesemuanya adalah amalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah
(jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan, “Janganlah engkau
mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena zuhud sebenarnya adalah amalan
hati” [6]
KESIMPULAN
Mujahadah menurut bahasa adalah perang, menurut aturan syara’
adalah perang melawan musuh-musuh Alloh, dan menurut istilah adalah memerangi
nafsu amarah bis-suu’ dan memberi beban kepadanya untuk melakukan sesuatu yang
berat baginya yang sesuai dengan aturan syara’ (agama). Sebagian Ulama
mengatakan : "Mujahadah adalah tidak menuruti kehendak nafsu”, dan
ada lagi yang mengatakan: “Mujahadah adalah menahan nafsu dari kesenangannya”.
Secara
bahasa Khauf berasal dari kata khafa,
yakhafu, khaufan yang artinya takut. Takut yang dimaksud disini adalah
takut kepada Allah SWT. Khauf adalah takut kepada Allah SWT dengan mempunyai
perasaan khawatir akan adzab Allah yang akan ditimpahkan kepada kita. Cara
untuk dekat kepada Allah yaitu mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya. Raja’
secara bahasa artinya harapan atau cita-cita. Raja’ adalah mengharap ridho,
rahmat dan pertolongan kepada Allah SWT, serta yakin hal itu dapat diraihnya,
atau suatu jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari
Allah SWT.
Baik Khauf maupun raja`
merupakan dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya menyatu dalam diri
seorang mukmin, maka seluruh aktivitas kehidupannya akan menjadi seimbang.
Dengan khauf akan membawa diri seseorang untuk selalu melaksanakan
ketaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan; dengan raja` akan menghantarkan
dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi Allah.
DAFTAR PUSTAKA
HR. Tirmidzi no. 2340 dan Ibnu Majah no. 4100
Kitab Jaami’ul
Ulum wal Hikam
Fathul Bari,
Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/232, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
[1] https://sites.google.com/site/tunjunanmujahadah/pengertian-mujahadah, diakses pada tanggal 27 Mei 2016 pukul 8:38 PM
[2] Lihat Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 346, Darul Muayyid, cetakan
pertama, tahun 1424 H.
[4] HR. Tirmidzi no. 2340 dan Ibnu Majah
no. 4100. Abu Isa berkata: Hadits ini gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali
dari jalur sanad ini, adapun Abu Idris Al Khaulani namanya adalah A’idzullah
bin ‘Abdullah, sedangkan ‘Amru bin Waqid dia adalah seorang yang munkar
haditsnya. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Yang tepat riwayat ini mauquf
(hanya perkataan Abu Dzar) sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab
Az Zuhd.” (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 346)
[5] Dikeluarkan
oleh Ibnu Abid Dunya dari riwayat Muhammad bin Muhajir, dari Yunus bin
Maysaroh. (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 347)